Rabu, 18 Desember 2013

Pawiwahan Menurut HIndu Bali


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Tuhan menciptakan manusia yang berlawanan jenis yakni pria dan wanita, atau laki dan perempuan untuk mampu memutar roda cakra kehidupan. Sehingga disatu sisi manusia berkedudukan sebagai mahkluk individu dan satu sisi lagi sebagai mahkluk sosial. Sebagai mahkluk sosial inilah individu membutuhkan hadirnya sosok individu lain untuk merangkul kelemahan – serta kelebihannya. Proses penerimaan kekurangan dan kelebihan inilah yang didasari atas cinta akan membawakan kedua insan ini menuju kepelaminan atau sering disebut dengan pernikahan.
Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam Catur Asrama wiwaha termasuk kedalam grehastha asrama. Disamping itu di dalam agama hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia seperti dijelaskan dalam kita Manawa Dharmasasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.
Sebab pernikahan adalah sebuah kewajiban dalam persefektif agama Hindu, sekirannya setiap individu mesti tahu dan paham tentang kiat – kiat sebelum melangsungkan pernikahan agar mampu mewujudkan bagaimana seorang ayah, dan bagaimana seorang ibu serta yang terpenting bagaimana memelihara anak. Keberhasilan akan nampak dalam wiwaha atau perkawinan di antaranya adalah saling mencintai, bekerja sama, saling mengisi dan bahu menbahu dalam setiap kegiatan rumah tangga. Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Pada kali ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian, tujuan, hakikat, pelaksanaan dan sistem wiwaha dan syarat – syarat wiwaha.


1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas adapun hal – hal yang ingin penulis rangkumkan adalah sebagai berikut
1)      Apa itu perkawinan?
2)      Bagaimana syarat – syarat melangsungkan pernikahan dalam persefektif Hindu Bali?
3)      Bagaimana tata pelaksanaan upacara pernikahan Hindu Bali?

1.3  Tujuan Penulisan
Setiap perbuatan tentu memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang yang bertindak, oleh sebab itu dalam kesempatan ini adapun hal yang menjadi tujuan penulis secara praktis ialah :
1)      Untuk menjadi sebuah acuan untuk anak – anak muda yang akan segera melangsungkan pernikahan
2)      Untuk dapat memahami menciptakan keluarga yang harmonis dan yang terpenting adalah untuk dapat melahirkan anak yang suputra yang kelak mampu berguna untuk dirinya sendiri, keluarga dan negara.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan
Mengenai definisi perkawinan menurut Undang – undang no 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi hubungan badan, akan tetapi lebih daripada itu.
Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seorang untuk mempunyai keturuan dan menebus dosa – dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang anak suputra. Putra dalam bahasa sanskerta diartikan sebagai ia yang menyebrangan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Perkawinan atau sering disebut di Bali wiwaha selalu identik dengan upacara yadnya, yang menyebabkan lembaga perkawinan tidak dapat terpisahkan dengan lembaga agama. Sehingga menjadikannya sebagai hukum Hindu dan sebuah persyaratan. Legalnya perkawinan adalah ditandai dengan pelaksanaan ritual yakni upacara wiwaha minimal upacara byakala.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara perkawinan (byakala) disebut sebagai tri upasaksi (tiga saksi) yaitu dewa saksi, manusa saksi dan bhuta saksi. Dewa saksi adalah saksi dewa yang dimohonkan untuk meyaksikan upacara pawiwahan. Manusa saksi adalah saksi manusia, dalam hal ini semua orang yag hadir pada saat pelaksanaan upacara utamanya, seperti pemangku, dan perangkat Desa (bendesa adat, kelihan dinas, dsb). Bhuta saksi adalah saksi para bhuta kala. Pada saat dilaksanakannya upacara byakala kita membakar tetimpug (berupa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbu Bhuta kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhandengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara bahkan ikut mengaja keamanan secara niskala serta ikut sebagai saksi.
Pada umumnya Undang – undang secara prinsip mengandung asas –asas yang dapat membawakan kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga yakni
1)      Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – udangan yang berlaku
2)      Undang – undang mengandung asas monogami
3)      Pasangan suam istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan
4)      Undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersukar perceraian
5)      Hak dan kedudukan suami – istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat diatur dalam undang – undang no 1 tahun 1974.

2.2 Tujuan Perkawinan
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan. dalam Nitisastra dijelaskan bahwa “ orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1)      Melanjutkan keturunan
2)      Membina rumah tangga
3)      Bermasyarakat
4)      Melaksanakan panca yadnya

2.3 Hakihat Perkawinan
Pawiwahan dalam agama hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehasta Asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya. Di dalam Grehasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan, yakni memenuhi :
1)      Dharma yakni aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara
2)      Artha yakni segala kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan
3)      Kama yakni rasa kenikmatan atau kebahagiaan hidup yang diwujudkan dalam berumah tangga

2.4 Syarat – syarat Perkawinan
Suatu pawiwahan dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang diselenggarakan dalam ajaran agama hindu, adapun ajarannya adalah sebagai berikut :
1)      Pawiwahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
2)      Untuk mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara ini
3)      Suatu pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai menganut kepercayaan yang sama
4)      Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan dikatakan sah apabila telah melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha
5)      Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6)      Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), sakit jiwa atau sehat secara jasmani dan rohani
7)      Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun
8)      Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau sepinda
Selain itu juga agar pawiwahan dianggap sah maka harus dibuatkan akta pernikahan sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Orang yang berwenang melaksanakan upacara pawiwahan adalah pendeta yang memiliki status Loka Pala Sraya. Demikian juga cara pengajuan pembatalan pawiwahan menurut pasal 23 bab IV undang – undang no 1 tahun1974 sebagai berikut :
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2.      Suami atau istri
3.      Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4.      Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang – undang no 1 tahun 1974 dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus

2.5 Sistem Perkawinan Hindu
Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem perkawinan yakni :
1)      Brahma wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita (Manawa Dharmasastra III.27)
2)      Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28)
3)      Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki – laki (Manawa Dharmasastra III.29)
4)      Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30)
5)      Asura wiwaha,  adalah bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31)
6)      Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
7)      Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
8)      Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Dari delapan bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
1.      Sistem mapadik atau meminang,  pihak calon serta keluarga memepelai laki – laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat
2.      Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
3.      Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di rumah mempelai wanita
4.      Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diikuti.
Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.

2.6 Perkawinan Yang Dilarang
Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama. Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1)     Bertentangan dengan hukum agama
2)     Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)     Bila clon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu.
4)     Perkawinan yang masih ada hubungan darah
5)     Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu

2.7 Tata Pelaksanaan Perkawinan Hindu Di Bali
Perkawinan menurut Hindu di Bali dari ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat yaitu kecil/nista, sedang/madya dan besar/utama. Namun perlu digaris bawahi dalam perkawinan ada upacara pembersihan terhadap kedua mempelai yakni sukla (sperma) swanita (ovum) sehingga mampu membentuk embrio yang bersih atau disebut manik. Hubungan seks yang tidak didahului dengan upacara pabyakalaan atau disebut kama keparagan  atau MBA (married by accindent) akan menghasilkan rare dia-diu atau rare bebinjat. Adapun pelaksanan upacara perkawinan secara rinci sebagai berikut :
2.7.1 Tata Urutan Upacara
1.      Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah sebagai simbol untuk meleyapkan unsur – unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara
2.      Mabyakala adalah upacara pembersihan secara lahir batin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi jani yang suputra
3.      Mepejati atau pesaksian adalah upacara kesksiaan tentang pengesahan perkawinan kehadapa Ida Hyang Widhi dan masyarakat bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami istri.

2.7.2 Sarana Upakara
Jenis upakara yang digunakan upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut :
1.      Banten pemagpag, segehan dan tummpeng dadahan
2.      Banten pesaksi, pradaksina dan ajuman
3.      Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulapan pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
1.      Tikeh dadakan,adalah tikar kecil yang terbuat dari pandan hijau yang mengadung simbol kesucian si gadis
2.      Papegatan, berupa dua buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan  dengan benang putih dalam keadaan terentang
3.      Tetimpug, beberapa pohon bambu kecil yang masih muda yang ada ruasnya sebanyak lima atau tujuh ruas
4.      Sok dagang, yaitu sebuah wakul yang berisi buah – buahan, rempah – rempah dan keladi
5.       Kala sepetan, disombolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dapdap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang menerima pakala - kalaan
6.      Tegen – tegenan, yaitu batang tebu dan dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan nasi dan uang.

2.7.3 Jalannya Upacara
1)      Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai dududk ke tempat yang telah disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
2)      Upacara Mabyakala
Pertama dilaksanakan upacara puji astuti oleh pemimpin upacara. Selanjutnya membakar api tatipug sampai berbunyi sebagai sebuah simbol pemberitahuan kepada bhuta kala yang akan menerima pekala – kalaan. Kedua mempelai melangkahi sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pebyakalaan. Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan senggau tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan. Selanjutnya masing – masing ibu jari kaki kedua mempelai disentuhkan ke telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian upacara penglukatan. Selanjutnya mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut murwa daksina. Saat berjalan, mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dandangan (simbol menggendong anak) dan pria memikul tegen – tegenan (simbol bekerja keras untuk mencari nafkah). Setiap melewati kala sepetan, ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan.
3)      Upacara Mepejati atau pesaksiaan
Dalam upacara pesaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Kemudian, kedua mempelai diperciki tirtapembersih oleh pemimpin upacara. Lalu nantab banten widi widhana dan mejaya – jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan samskara wiwaha. Terakhir penandatangnan surat perkawinan oleh kedua pihak dihadapana saksi dan pejabat yang berwenang.


BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa perkawinan itu adalah sebuah janji suci untuk menjalani hidup bersama baik suka ataupun duka. Dalam agama hindu pernikahan itu adalah sebuah kewajiban untuk melangsungkan keturunan dengan melahirkan keturunan inilah sekiranya, anak suputra ini mampu menyebrangkan orang tuanya dari lumpur dosa sehingga orang tuanya masuk surga. Ada beberapa kiat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan seperti adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, cukup umur, siap secara fisik dan mental. Setelah memenuhi persyatan baik secara hukum dan agama maka kedua calon siap untuk melangsungkan pernikahan. Pernikahan dalam perseptif agama Hindu yang kental dengan tradisi upacara menggunakan bebanten yang penuh dengan makna, dan sekiranya pernikahan masih tergolong manusia yadnya dan merupakan upacara yang terakhir dalam manusia yadnya hingga akhirnya memasuki jenjang kehidupan yang disebut Grehasta Asrama. Selain melangsungkan upacara pernikahan, pernikahan dianggap sah apabila, hadir tri upasaksi yakni saksi dari Tuhan, Manusia, dan bhuta kala.

Sumber : Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta : Ganesa Exact



1 komentar: