BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tuhan menciptakan
manusia yang berlawanan jenis yakni pria dan wanita, atau laki dan perempuan
untuk mampu memutar roda cakra kehidupan. Sehingga disatu sisi manusia
berkedudukan sebagai mahkluk individu dan satu sisi lagi sebagai mahkluk
sosial. Sebagai mahkluk sosial inilah individu membutuhkan hadirnya sosok
individu lain untuk merangkul kelemahan – serta kelebihannya. Proses penerimaan
kekurangan dan kelebihan inilah yang didasari atas cinta akan membawakan kedua
insan ini menuju kepelaminan atau sering disebut dengan pernikahan.
Wiwaha atau perkawinan
dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam
Catur Asrama wiwaha termasuk kedalam grehastha asrama. Disamping itu di dalam
agama hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia seperti
dijelaskan dalam kita Manawa
Dharmasasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib,
dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban
dalam hidupnya.
Sebab pernikahan adalah
sebuah kewajiban dalam persefektif agama Hindu, sekirannya setiap individu
mesti tahu dan paham tentang kiat – kiat sebelum melangsungkan pernikahan agar
mampu mewujudkan bagaimana seorang ayah, dan bagaimana seorang ibu serta yang
terpenting bagaimana memelihara anak. Keberhasilan akan nampak dalam wiwaha
atau perkawinan di antaranya adalah saling mencintai, bekerja sama, saling
mengisi dan bahu menbahu dalam setiap kegiatan rumah tangga. Terbentuknya
keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus
seimbang dan sama meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban. Pada kali ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian, tujuan,
hakikat, pelaksanaan dan sistem wiwaha dan syarat – syarat wiwaha.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang
masalah diatas adapun hal – hal yang ingin penulis rangkumkan adalah sebagai
berikut
1) Apa
itu perkawinan?
2) Bagaimana
syarat – syarat melangsungkan pernikahan dalam persefektif Hindu Bali?
3) Bagaimana
tata pelaksanaan upacara pernikahan Hindu Bali?
1.3 Tujuan Penulisan
Setiap perbuatan
tentu memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang yang bertindak,
oleh sebab itu dalam kesempatan ini adapun hal yang menjadi tujuan penulis secara
praktis ialah :
1) Untuk
menjadi sebuah acuan untuk anak – anak muda yang akan segera melangsungkan
pernikahan
2) Untuk
dapat memahami menciptakan keluarga yang harmonis dan yang terpenting adalah
untuk dapat melahirkan anak yang suputra yang kelak mampu berguna untuk dirinya
sendiri, keluarga dan negara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Perkawinan
Mengenai definisi
perkawinan menurut Undang – undang no 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan “
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
dikatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama.
Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau
rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan
legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi hubungan
badan, akan tetapi lebih daripada itu.
Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius
dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seorang untuk mempunyai
keturuan dan menebus dosa – dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang anak
suputra. Putra dalam bahasa sanskerta diartikan sebagai ia yang menyebrangan
atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Perkawinan atau sering
disebut di Bali wiwaha selalu identik dengan upacara yadnya, yang menyebabkan
lembaga perkawinan tidak dapat terpisahkan dengan lembaga agama. Sehingga
menjadikannya sebagai hukum Hindu dan sebuah persyaratan. Legalnya perkawinan
adalah ditandai dengan pelaksanaan ritual yakni upacara wiwaha minimal upacara
byakala.
Suatu perkawinan
dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara perkawinan (byakala) disebut
sebagai tri upasaksi (tiga saksi) yaitu dewa saksi, manusa saksi dan bhuta
saksi. Dewa saksi adalah saksi dewa yang dimohonkan untuk meyaksikan upacara
pawiwahan. Manusa saksi adalah saksi manusia, dalam hal ini semua orang yag
hadir pada saat pelaksanaan upacara utamanya, seperti pemangku, dan perangkat
Desa (bendesa adat, kelihan dinas, dsb). Bhuta saksi adalah saksi para bhuta
kala. Pada saat dilaksanakannya upacara byakala kita membakar tetimpug (berupa
potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbu Bhuta kala untuk
hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhandengan harapan tidak
mengganggu jalannya upacara bahkan ikut mengaja keamanan secara niskala serta
ikut sebagai saksi.
Pada umumnya Undang –
undang secara prinsip mengandung asas –asas yang dapat membawakan kepada
keharmonisan dan kebahagiaan keluarga yakni
1) Suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan
setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – udangan yang
berlaku
2) Undang
– undang mengandung asas monogami
3) Pasangan
suam istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan
4) Undang
– undang ini menganut prinsip untuk mempersukar perceraian
5) Hak
dan kedudukan suami – istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat
diatur dalam undang – undang no 1 tahun 1974.
2.2
Tujuan Perkawinan
Wiwaha dalam agama
Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral
yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai
suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan
dapat dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha
adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada
orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan. dalam
Nitisastra dijelaskan bahwa “ orang yang
mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu
membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya
dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang
mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Dalam kehidupan berumah
tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1) Melanjutkan
keturunan
2) Membina
rumah tangga
3) Bermasyarakat
4) Melaksanakan
panca yadnya
2.3
Hakihat Perkawinan
Pawiwahan dalam agama
hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehasta Asrama merupakan lembaga suci
yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya. Di dalam Grehasta inilah tiga
usaha yang harus dilaksanakan, yakni memenuhi :
1) Dharma
yakni aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada
Dharma Agama dan Dharma Negara
2) Artha
yakni segala kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan
3) Kama
yakni rasa kenikmatan atau kebahagiaan hidup yang diwujudkan dalam berumah
tangga
2.4
Syarat – syarat Perkawinan
Suatu pawiwahan dapat
dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang diselenggarakan dalam ajaran agama
hindu, adapun ajarannya adalah sebagai berikut :
1) Pawiwahan
dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
2) Untuk
mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta atau
pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara ini
3) Suatu
pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai menganut kepercayaan yang sama
4) Berdasarkan
tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan dikatakan sah apabila telah
melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha
5) Calon
mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6) Tidak
ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), sakit jiwa atau sehat
secara jasmani dan rohani
7) Calon
mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun
8) Calon
mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau sepinda
Selain itu juga agar
pawiwahan dianggap sah maka harus dibuatkan akta pernikahan sesuai dengan
undang – undang yang berlaku. Orang yang berwenang melaksanakan upacara
pawiwahan adalah pendeta yang memiliki status Loka Pala Sraya. Demikian juga
cara pengajuan pembatalan pawiwahan menurut pasal 23 bab IV undang – undang no
1 tahun1974 sebagai berikut :
1. Para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2. Suami
atau istri
3. Pejabat
yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4. Pejabat
yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang – undang no 1 tahun 1974 dan setiap
orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus
2.5
Sistem Perkawinan Hindu
Sistem pawiwahan adalah
cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam
melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami
istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem perkawinan yakni :
1)
Brahma
wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria
yang ahli weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri
oleh ayah wanita (Manawa Dharmasastra
III.27)
2)
Daiwa
wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang
melaksanakan upacara atau yang telah berjasa
(Manawa Dharmasastra III.28)
3)
Arsa
wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita
mengikuti aturan yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak
mempelai laki – laki (Manawa Dharmasastra
III.29)
4)
Prajapati
wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan
mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan
penghormatan kepada pengantin pria (Manawa
Dharmasastra III.30)
5)
Asura
wiwaha, adalah bentuk
perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan
kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya
menerima wanita itu untuk dimiliki (Manawa
Dharmasastra III.31)
6)
Gandharwa
wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua
mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
7)
Raksasa
wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan
kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
8)
Paisaca
wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa
dan membuat bingung atau mabuk (Manawa
Dharmasastra III.34)
Dari delapan bentuk
perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum
agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha.
Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
1.
Sistem mapadik atau meminang, pihak
calon serta keluarga memepelai laki – laki datang ke rumah calon mempelai
wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya
telasa saling mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah
sistem yang dianggap paling terhormat
2.
Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka
dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu
orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
3.
Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status
hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan
pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal
di rumah mempelai wanita
4. Sistem
melegandang, bentuk perkawinan dengan
cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam
ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur tentang perkawinan
campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi
perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diikuti.
Berhubungan dengan hal
itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut
Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada pihak
wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si
wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah
upacara tersebut dilaksanakan.
2.6
Perkawinan Yang Dilarang
Pawiwahan dapat dicegah
atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk
melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama.
Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk
mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama. Selain itu
pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,
mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan
maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan
apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut
undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan
ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1) Bertentangan
dengan hukum agama
2) Calon
masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3) Bila
clon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu
pihak merasa ditipu.
4) Perkawinan
yang masih ada hubungan darah
5) Apabila
si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu
2.7
Tata Pelaksanaan Perkawinan Hindu Di Bali
Perkawinan menurut
Hindu di Bali dari ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat yaitu
kecil/nista, sedang/madya dan besar/utama. Namun perlu digaris bawahi dalam
perkawinan ada upacara pembersihan terhadap kedua mempelai yakni sukla (sperma)
swanita (ovum) sehingga mampu membentuk embrio yang bersih atau disebut manik. Hubungan seks yang tidak
didahului dengan upacara pabyakalaan atau disebut kama keparagan atau MBA (married by accindent) akan menghasilkan
rare dia-diu atau rare bebinjat. Adapun pelaksanan upacara
perkawinan secara rinci sebagai berikut :
2.7.1
Tata Urutan Upacara
1.
Penyambutan kedua mempelai sebelum
memasuki pintu halaman rumah sebagai simbol untuk meleyapkan unsur – unsur
negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya
upacara
2.
Mabyakala adalah upacara pembersihan
secara lahir batin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel
benih pria dan sel benih wanita agar menjadi jani yang suputra
3.
Mepejati atau pesaksian adalah upacara
kesksiaan tentang pengesahan perkawinan kehadapa Ida Hyang Widhi dan masyarakat
bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami istri.
2.7.2
Sarana Upakara
Jenis upakara yang
digunakan upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut :
1.
Banten pemagpag, segehan dan tummpeng
dadahan
2.
Banten pesaksi, pradaksina dan ajuman
3.
Banten untuk mempelai byakala, banten
kurenan dan pengulapan pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya
seperti :
1. Tikeh dadakan,adalah
tikar kecil yang terbuat dari pandan hijau yang mengadung simbol kesucian si
gadis
2.
Papegatan,
berupa
dua buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara, jarak yang satu dengan
yang lainnya agak berjauhan dengan
benang putih dalam keadaan terentang
3. Tetimpug, beberapa
pohon bambu kecil yang masih muda yang ada ruasnya sebanyak lima atau tujuh
ruas
4. Sok dagang, yaitu
sebuah wakul yang berisi buah – buahan, rempah – rempah dan keladi
5. Kala sepetan, disombolkan
dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan
benang tri datu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dapdap. Kala
sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang menerima pakala - kalaan
6. Tegen – tegenan, yaitu
batang tebu dan dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan nasi dan
uang.
2.7.3
Jalannya Upacara
1) Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu
mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan
dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai dududk ke tempat yang telah
disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
2) Upacara Mabyakala
Pertama
dilaksanakan upacara puji astuti oleh pemimpin upacara. Selanjutnya membakar
api tatipug sampai berbunyi sebagai sebuah simbol pemberitahuan kepada bhuta
kala yang akan menerima pekala – kalaan. Kedua mempelai melangkahi sebanyak
tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pebyakalaan. Kedua tangan mempelai
dibersihkan dengan senggau tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan.
Selanjutnya masing – masing ibu jari kaki kedua mempelai disentuhkan ke telur
ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian upacara penglukatan.
Selanjutnya mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut murwa
daksina. Saat berjalan, mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok
dandangan (simbol menggendong anak) dan pria memikul tegen – tegenan (simbol
bekerja keras untuk mencari nafkah). Setiap melewati kala sepetan, ibu jari
kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan.
3) Upacara Mepejati atau pesaksiaan
Dalam upacara
pesaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali kehadapan
Ida Hyang Widhi Wasa. Kemudian, kedua mempelai diperciki tirtapembersih oleh
pemimpin upacara. Lalu nantab banten widi widhana dan mejaya – jaya. Dengan
demikian, maka selesailah pelaksanaan samskara wiwaha. Terakhir penandatangnan
surat perkawinan oleh kedua pihak dihadapana saksi dan pejabat yang berwenang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas
dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa perkawinan itu adalah sebuah janji suci
untuk menjalani hidup bersama baik suka ataupun duka. Dalam agama hindu
pernikahan itu adalah sebuah kewajiban untuk melangsungkan keturunan dengan
melahirkan keturunan inilah sekiranya, anak suputra ini mampu menyebrangkan
orang tuanya dari lumpur dosa sehingga orang tuanya masuk surga. Ada beberapa
kiat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan seperti adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai, cukup umur, siap secara fisik dan
mental. Setelah memenuhi persyatan baik secara hukum dan agama maka kedua calon
siap untuk melangsungkan pernikahan. Pernikahan dalam perseptif agama Hindu
yang kental dengan tradisi upacara menggunakan bebanten yang penuh dengan makna,
dan sekiranya pernikahan masih tergolong manusia yadnya dan merupakan upacara
yang terakhir dalam manusia yadnya hingga akhirnya memasuki jenjang kehidupan
yang disebut Grehasta Asrama. Selain melangsungkan upacara pernikahan, pernikahan
dianggap sah apabila, hadir tri upasaksi
yakni saksi dari Tuhan, Manusia, dan bhuta kala.
Sumber : Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta :
Ganesa Exact
Makasi postnya
BalasHapus