BAB II
PEMBAHSAN
2.1 Hubungan Hukum Hindu dan Hukum Adat
Di
muka telah ditegaskan bahwa Hukum Hindu yang dimaksud adalah hukum agama dalam arti yang sebenar-benarnya.
Sebagai hukum agama, Hukum Hindu disamakan pengertiannya dengan Dharma yang
bersumber pada Rta. Agama itu sendiri juga merupakan norma atau kaidah-kaidah
moral yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini tampak
ada usaha untuk mengkaitkan nilai-nilai agama dengan praktek kehidupan, apakah
misalnya nilai agama itu telah ditransformasikan kedalam norma-norma social
yang mengatur kehidupan manusia didalam masyarakat. Hubungan yang demikian
tidak terlalu sulit mencari, karena agama Hindu memperlihatkan gejala yang
multikomplek sebagai pandangan hidup yang menyeluruh dan terpadu. John L .
Esposito ketika memberi kata pendahuluan pada buku “Agama dan Perubahan
Sosiopolotik”, hanya melihat hubungan agama pada dua dimensi, yakni dikatakan :
agama mempunyai suatu hubungan yang integral dan organic dengan polotik dan masyarakat. (Esposito, 1985:1).
Mengacu
pada tujuan hidup manusia menurut pandangan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah,
maka sebenarnya tradisi Hindu menawarkan suatu system normative dimana agama
adalah integral dengan semua aspek kehidupan
umat manusia, baik politik , social, ekonomi, hukum, pendidikan,
keluarga dan lain sebagainya. Keseluruhan aspek kehidupan tersebut tercangkup
dalam pengertian “kekinian “ dan “ keakanan “ yang bersifat kesurgaan. ( “
kekinian dan keakanan “ dipinjam dari istilah Soedjatmako, 1979:25)
Pada
gejala umum yang terjadi di Bali yakni keterkaitan agama dengan adat, adalah bukti adanya
pertautan adat agama dengan salah satu aspek kehidupan manusia. Tjokorde Raka
Dherana mengatakan agama dan adat terjalin satu dengan lainnya. Saling pengaruh
mempengaruhi. Karenanya pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan tempat
yang telah dan sedang berlaku. Penyesuaian mana bersifat membenarkan dan
memperkuat adat setempat sehingga menjadikan kemudian suatu “ adat Agama “
yaitu suatu penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan adat setempat.
(Dherena , 1984: 18)
Pembuktian
adanya tingkat pengaruh hukum hindu menjiwai hukum adat telah terbukti sejak
berdirinya kerajaan hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja
ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum hindu. Pudja mengatakan,
bagian-bagian dari ajaran-ajaran dan pasal-pasal dalam Dharmasastra telah
dioper dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia.
Bahkan bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa
hukum itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di
Indonesia melalui bentuk- bentuk hukum
adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan yang paling nyata masih terasa sangat
berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan di Lombok, sebagai hukum yang
berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja, 1977:34).
Dalam
berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana
(Adat Delic), dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, hukum
kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan dalam hukum adat, semuanya ternyata
hukum hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar
folosofinya ternyata diioper dari kitab-kitab suci Hindu. Demikian pula
pengenaan pembagian delapan belas title hukum atau astadasa wyawahara,
pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti brahmahatia,
wakparusia, sahasa dan sebagainya, semuanya merupakan hukum agama. Ini berarti
hukum Adat itu sebagai besar adalah Hukum Agama Hindu. ( Pudja, 1997:34-35).
Dalam
praktek ditengah masyarakat memang tampak gejala yang bertaut menaut antara
Hukum Hindu dengan Hukum Adat. Kitab –kitab hukum hindu dalam bentuk kompilasi
seperti Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama, dan Kutaramanawa, memang
sangat sering dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transfer kedalam
Hukum Adat tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum
hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Disini
para tetua adat para tetua adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring
nilai-nilai hukum hindu untuk di senapaskan dengan kebutuhan sesuai dengan
system social yng berkembang.
Sejarah
dari zaman hindia Belanda mewariskan sesuatu yang pincang . Terutama dalam soal
pengembangan hukum agama hindu. Sebab semua ketentuan yang ditujukan bagi
masyarakan pribumi dan Timur Asing harus
diundang terlebih dahulu menjadi hukum Adat. Paulus menguatkan dugaan ini. Ia
mengatakan dalam hal melakukan peradilan di Hindia Belanda untuk orang-orang
Pribumi dan Timur Asing terumata haruslah dilihat pada hukum kebiasaan mereka,
yaitu adat. Dalam IS( ps 31 ayat 2 dibawah b) , hukum ini disebut “
Peraturan-peraturan Hukum yang berkaitan dengan agama dan kebiasaaan-kebiasaan
mereka”)., (BP Paulus 1979:159).
Semua
pelanggaran dengan demikian berarti ditundukan pada hukum adat yang berlaku.
Ini berarti hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan
dalam suatu dominan dalam suatu lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan
masyarakat adat yang mendukungnya. Konsekwensi dari peran yang dominan itu
menjadikan hukum Adat semakin mengakar dan melembaga dalam interaksi social
masyarakatnya, dalam arti bahwa kepatuahan masyarakat terhadap Hukum Adat
tersebut tidak dapat dibantahkan.
Konskwensi lain ialah
membawa akibat yang sangat fatal, dimana mulai muncul tokoh – tokoh hukum adat
yang tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum adat bersumber kepada hukum hindu
atau dharmasatra. Van Vollenhoven adalah salah satu dari banyak sarjana yang
berpendapat demikian. Sarjana ini menentang secara langsung pendapat Prof. Van
Den Berg yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber pada hukum agama dengan
sana – sini terdapat penyipangan – penyimpangan. Berangkat daripemikiran –
pemikiran Van Den Berg, Gde Pudja memberi penekanan khusus pada hukum adat yang
pada hahekatnya bersumber pada hukum agama. Dalam banyak hal pandangan tersebut
mengandung pembuktian yang benar dan factual.
Mengemukakan hasil
penelitiannya, Gsde Pudja lebih jauh mengemukakan, Hukum Hindulah yang
merupakan sumber dasar dari Hukum Adat di Indonesia terutama di daerah – daerah
dimana pengaruh Hindu itu sangat besar. Untuk daerah Bali dan Lombok,
pembuktian itu tidaklah begiru sulit, karena seluruhpola pemikiran dan tata
kehidupan masyarakat yang beragama hindu, tetap mendasarkan pada ajaran –
ajaran agama hindu yanbg mereka yakini (Pudja,
1977 :192).
Kembali pada teori Soerjono
Soekanto yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber dari perkembangan
perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat
istiadat barulah kemudian menjadi hukum adat, akan semakin mempertegas mengenai
pembuktian adanya hukum hindu menjiwaihukum adat. Namun kerangka teori ini akan
melahirkan adat murni, karena ia bersumberkan kepada perilaku menjadi manusia,
baik personal maupun umum. dalam proses menjadikan perilaku menjadi kebiasaan,
tata kelakukan dan adat istiadat, Dharmasastra atau hukum hindu sedikit banyak
memberi pengaruh, berhubung kebiasaan, tata kelakuaan dan adat istiadat itu
dibatasi oleh suatu norma – norma sosial dan norma – norma agama yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan. Hukum
Hindu dalam pembahsaan dimuka dinyatakan bersumber pada Rta.
Meski dibentangkan
secara tersirat dari beberapa uraian di depan, kecuali menegakkan keberadaan
hukum hindu yang menjiwai hukum adat, sebenarnya dengan sendirinya juga berarti
mencakup pengertian hukum hindu menjiwai kebiasaan. Kebiasaan ini dibatasi
dalam konteksnya yang berkiblat pada hukum adat. I ketut Artadi menggambarkan
kebiasaan itu demikian : “dalam aspek lain hubungan antar warga ini menonjol
juga dalam hal penataan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang
dapat berupa tata susila, sopan santun, hidup dalam pergaulan suatu desa, yang
sedemikian dianggap patut seperti cara bertegur sapa, menolong warga lain yangb
terkena musibah, saling tolong dalam menanam padi, saling bantu dalam hal
pembuatan rumah (Artadi, 1987 : 2)
Komponen ini dari
pertayaan tersebut berturut – turut adanya pentaatan dari warga (masyarakat),
kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati dan output berupa kebiasaan tolong
menolong. Dengan demikian terdapat hubungan berantai dan estafet dari hukum
hindu menjiwai hukum adat dan penjiwaan itu mengalir juga menjiwai kebiasaan.
2.2 Pengaruh Hukum Hindu Terhadapa Hukum Adat
Pembuktian adanya pengaruh hukum hindu
terhadap hukum adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan Hindu di
Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya
pertumbuhan hukum Hindu. Gde Pudja mengatakan, bagian – bagian dari sejarah dan
pasal – pasal dalam Dharmasastra dioperasikan dan dipergunakan sebagai hukum
pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja,
karena tidak disadari bahwa Hukum Hindu itu masih tetap berlaku dan berpengaruh
pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum Adat. Bentuk
secara hukum dan kehidupan hukum hindu yang paling nyata masih terasa sangat
berpengaruh adalah bentuk hukum adat di
Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata –
mata ( Pudja, 1977 :34).
Gde
Pudja selanjutnya, dalam berbagai penelitian dan penulisan hukum Adat, baik
dalam bidang hukum pidana adat (adat delict), dalam bidang hukum perdata
terutama hukum waris, kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat,
ternyata semuanya hukum hindu. Baik pengertian, istilah – istilah yang dipakai
maupun dasar filosofinya ternyata diambil-alih dari kitab – kitab suci hindu.
Demikian pula pengenaan pembagiaan 18 titel hukum atau asta dasa Wyawahara,
pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti seperti Brahmatia,
wakpurusya, Sahasa dan sebagianya semua merupakan hukum agama. Ini berarti Adat
itu sebagian besar adalah hukum agama hindu (Pudja, 1977:35).
Dalam
praktek di tengah masyarakat memang tampak gejala hukum adat yang taut menaut
dengan hukum hindu, kitab – kitab hukum pidana hindu dalam bentuk kompilasi
seperti Adigama, agama, Kutaragama dan Manawa Swarga. Memang agak sering
dijadikam sumber penyusunan hukum adat. Hanya transfer ke dalam hukum adat
tidak sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai
dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Di sini para tetua masyarakat
desa adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum Hindu
atau disenapaskan dengan kebutuhan sesuai dengan situasi sosial yang berkembang
(Ketut Windya, 1988:37).
Team research FM &
PM Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya terhadap pengaruh agama
Hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum
Hindu dalam jenis pelanggaran susila ini : Lokika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamia
Gamana, Salah Krama, Dati Krama, dan Wakparusya. (Team research FM & PM
Udayana Denpasar, 1975 : 47).
Semua jenis delict adat
tersebut pernah diterapkan dalam peradilan kerta di Bali semasa jaman
penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia. Dari keputusan-keputusan raad kerta
kita mendapat kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan
perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan bentuk hukum
lainnya.
Apabila skala pengaruh
hukum Hindu terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harus bertolak
pada tiga hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali
secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni
adanya upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakkan keseimbangan natar warga
masyarakkat itu sendiri. Upaya menegakkan keseimbangan hubungan masyarakat
secara keseluruhan dengan alam ketuhanan.
Berbagai pengaruh hukum
Hindu terhadap hukum dapat sebagai contoh yang dikedepankan di atas,
menunjukkan skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat pada dimensi
“pawongan” dan “palemahan”.
Adanya pengaruh hukum
Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat
itu tidak ada. Gede Puja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai
kaidah yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk
membedakan hukum adat dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada,
penulisan itu belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada
hukum Hindu (Pudja, 1977:34).
2.3 Konritisasi Hukum Hindu dalam Peradilan
Konkritisasi Hukum
Hindu dalam peradilan telah dimulai sejak jaman manu, melalui pengadilan
Brahmana. Skala berikut ini membenarkan adanya pengadilan Brahmana tersebut :
pengadilan yang dilakukan oleh tiga orang Brahmana ahli dalam weda dan seorang
hakim ahli yang ditunjuk oleh raja dinamakan pengadilan Brahmana (Manu
VIII:11). Raja dikatakan menyelidiki dan memutuskan langsung setiap perkara,
tetapi bila berhalangan, ia dapat menunjuk Brahmana ahli untuk mengadilinya.
Setiap pelanggran hukum
dituduhkan pada delapan belas title hukum (Wyawahara-pada), sebagaimana
dinyatakan dalam sloka berikut ini : “begitulah cara menyelesaikan perkara yang
termasuk kedalam delapan belas title, antara dua pihak yang berpekara yang
telah dinyatakan panjang lebar” (manu, IX:250).
Pengadilan Brahmana
yang dikenal pula sebagai parisad atau majelis. Diteruskan keberadaanya dalam
jaman-jaman raja-raja di India. Kautilya menginformasikan adanya pengadilan-pengadilan
majelis pada jaman raja-raja di India, raja masih tetap mempunyai kewenagan
sebagai seorang hakim (raja menjadi kepala eksekutif, legislative, dan
yudikatif). Dalam prinsip kerajaan yang ditinggalkan kautilya, seorang hakim
dinyatakan harus memegang Dharma atau kebenaran.
Dalam perkembangan
selanjutnya, hukum Manu berpengaruh sekali pada bentuk hukum dan perundang –
undangan Majapahit. Ini secara dinyatakan langsung dalam kitab Kutara Manawa
yang dijadikan sebagai kitab perundang – undangan dalam kerajaan Majapahit di
Jawa Timur, terutama pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara.
Dalam susunan
pengadilan kita juga mengenal adanya Dhyaksa.
Seorang Dharmadhyaksa Kasaiwan,
seorang Dharmadhyaksa Ksakasogatan,
yakni agama siwa dan pemimpin agama Budha dengan sebutan Dang Acarya, karena
kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala
perundang – undangan didasarkan pada agama. Sang Dharmadhyaksa dibantu lagi oleh lima Upapatti artinya : pembantu
yang dalam piagam biasa disebut pemegat, baik Dharmadhayaksa maupun Upapatti disebut juga dengan Acarya. Upapatti
ini dalam perkembangan selanjutnya jumlahnya makin banyak. (Slametmulya, 1979,
189-195). Sampai disini jelas sekali adanya gambaran hakim majelis yang melibatkan
Dang Acarya, sebagai orang suci yang tidak diragukan lagi kejujurannya,
integritas dan dapat melihat kebenaran yang hakiki.
Kerajaan Majapahit
dalam sejarah kita kenal berhasil mempersatukan Nusantara yang kita warisi
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada setiap daerah jajahannya,
Majapahit nampaknya selalu berusaha menenemkan segala pengaruhnya, termasuk
dalam bidang hukum. Di Bali pengaruh ini kentra sekali, meskipun dalam
penerapannya banyak mengalami modifikasi. Terutama memberi hukumannya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penduduk setempat. Gede Pudja
mengatakan bagian – bagian dari ajaran – ajaran dan pasal – pasal dalam
Dharmasastra telah diambil alih dan dipergunakan sebagai hukum pada masa
kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara
tidak disadari hukum itu berpengaruh dan masih tetap berlaku pada hukum positif
di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan
kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah
bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku bagi golongan
Hindu semata – mata (Gede Pudja, 1977 : 34).
Pada jaman bali kuno,
kerajaan – kerajaandi Bali seperti di masa kejayaan Jayapangus dilengkapi pula
dengan lembaga peradilan. Ini membuktikan dari peran pendeta sebagai saksi
dalam persidangan sebagaimana dinyatakan dalam prasasti kediri 629 B.Via.
(Sukarto K.Atmojo dalam SA.Ketut Renik, 1988:15) dalam bait (1) dari prasasti :
Telah dipersaksikan di depan tandarakyan rin pakiran kiran, (2) Ijro makabehan
seperti para senopati terutama para pendeta Siwa dan Budha. Yang yang hadir
pada waktu itu senopati Belambunut. Persaksian semacam itu dapat terbaca pula
dalam prasasti 350 Abang Pura Batur A (933 S). Majalah Universitas Udayana, (XV
No. 18,198:15-16).
Masa – masa setelah
berakhirnya periode Bali kuno, kita mewarisi adanya pengadilan desa tiap – tiap
desa di Bali. Para hakim yang bertindak memutuskan perkara – perkara biasanya
ditangani atau diambil alih langsung oleh para tetua desa dan orang – orang
yang dianggap tau tentang hukum adat atau kebiasaan – kebiasaan setempat yang
bersumber pada ajaran – ajaran agama. Tidak dijumpai catatan tertulis mengenai
hukum yang diterapkan pada kesepakatan bersama warga desa yang sudah turun
temurun. Tetapi setiap keputusan biasanya ditundukkan
Sampai kepada
kedatangan Belanda ditahun 1949, yang ditandai dengan perang jagaraga,
pengadilan Kerta di Bali, terutama sebelum tahun 1930, para tetua desa seiring
diminta pendapatnya mengenai berbagai sengketa yang timbul di masyarakat. Atau
juga persoalan – persoalan itu diajukan kepada para Brahmana ahli.
Peradilan kerta di Bali
dibangun 33 tahun, terhitung sejak perang jagaraga tahun 1849, tepatnya tahun
1882 (Buleleng) dan (Jemrana). Raad Kerta-Raad kerta di kabupaten lain ,
dibangun menyusun belakangan, Karangasem tahun 1894, Klungkung 1910, Gianyar
dan Bangli 1916.
Dalam penelitian kita,
Raad Kerta di Bali merupakan konkritisasi nilai – nilai hukumHindu dibuktikan
dari kitab – kitab hukum – hukum yang dijadikan pegangan para hakim kerta,
seperti Agama, Adigama, Purwagama, Manawa Swarga, dan Kutaragama setra kitab –
kitab hukum yang lain. Yang banyak mengacu hukum Manu atau Weda Smerti.
Demikian gambaran
mengenai konkritisasi hukum Hindu dalam peradilan sejak jaman Manu sampai pada
jaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar