Selasa, 17 Desember 2013

Tugas Hukum Hindu

BAB II
PEMBAHSAN

2.1 Hubungan Hukum Hindu dan Hukum Adat
            Di muka telah ditegaskan bahwa Hukum Hindu yang dimaksud adalah  hukum agama dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebagai hukum agama, Hukum Hindu disamakan pengertiannya dengan Dharma yang bersumber pada Rta. Agama itu sendiri juga merupakan norma atau kaidah-kaidah moral yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini tampak ada usaha untuk mengkaitkan nilai-nilai agama dengan praktek kehidupan, apakah misalnya nilai agama itu telah ditransformasikan kedalam norma-norma social yang mengatur kehidupan manusia didalam masyarakat. Hubungan yang demikian tidak terlalu sulit mencari, karena agama Hindu memperlihatkan gejala yang multikomplek sebagai pandangan hidup yang menyeluruh dan terpadu. John L . Esposito ketika memberi kata pendahuluan pada buku “Agama dan Perubahan Sosiopolotik”, hanya melihat hubungan agama pada dua dimensi, yakni dikatakan : agama mempunyai suatu hubungan yang integral dan organic dengan polotik  dan masyarakat. (Esposito, 1985:1).
            Mengacu pada tujuan hidup manusia menurut pandangan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah, maka sebenarnya tradisi Hindu menawarkan suatu system normative dimana agama adalah integral dengan semua aspek kehidupan  umat manusia, baik politik , social, ekonomi, hukum, pendidikan, keluarga dan lain sebagainya. Keseluruhan aspek kehidupan tersebut tercangkup dalam pengertian “kekinian “ dan “ keakanan “ yang bersifat kesurgaan. ( “ kekinian dan keakanan “ dipinjam dari istilah Soedjatmako, 1979:25)
            Pada gejala umum yang terjadi di Bali yakni keterkaitan   agama dengan adat, adalah bukti adanya pertautan adat agama dengan salah satu aspek kehidupan manusia. Tjokorde Raka Dherana mengatakan agama dan adat terjalin satu dengan lainnya. Saling pengaruh mempengaruhi. Karenanya pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan tempat yang telah dan sedang berlaku. Penyesuaian mana bersifat membenarkan dan memperkuat adat setempat sehingga menjadikan kemudian suatu “ adat Agama “ yaitu suatu penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan adat setempat. (Dherena , 1984: 18)
            Pembuktian adanya tingkat pengaruh hukum hindu menjiwai hukum adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum hindu. Pudja mengatakan, bagian-bagian dari ajaran-ajaran dan pasal-pasal dalam Dharmasastra telah dioper dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bahkan bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia  melalui bentuk- bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan di Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja, 1977:34).
            Dalam berbagai penelitian dan penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana (Adat Delic), dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, hukum kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan dalam hukum adat, semuanya ternyata hukum hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar folosofinya ternyata diioper dari kitab-kitab suci Hindu. Demikian pula pengenaan pembagian delapan belas title hukum atau astadasa wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti brahmahatia, wakparusia, sahasa dan sebagainya, semuanya merupakan hukum agama. Ini berarti hukum Adat itu sebagai besar adalah Hukum Agama Hindu. ( Pudja, 1997:34-35).
            Dalam praktek ditengah masyarakat memang tampak gejala yang bertaut menaut antara Hukum Hindu dengan Hukum Adat. Kitab –kitab hukum hindu dalam bentuk kompilasi seperti Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama, dan Kutaramanawa, memang sangat sering dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transfer kedalam Hukum Adat tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Disini para tetua adat para tetua adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum hindu untuk di senapaskan dengan kebutuhan sesuai dengan system social yng berkembang.
            Sejarah dari zaman hindia Belanda mewariskan sesuatu yang pincang . Terutama dalam soal pengembangan hukum agama hindu. Sebab semua ketentuan yang ditujukan bagi masyarakan pribumi  dan Timur Asing harus diundang terlebih dahulu menjadi hukum Adat. Paulus menguatkan dugaan ini. Ia mengatakan dalam hal melakukan peradilan di Hindia Belanda untuk orang-orang Pribumi dan Timur Asing terumata haruslah dilihat pada hukum kebiasaan mereka, yaitu adat. Dalam IS( ps 31 ayat 2 dibawah b) , hukum ini disebut “ Peraturan-peraturan Hukum yang berkaitan dengan agama dan kebiasaaan-kebiasaan mereka”)., (BP Paulus 1979:159).
            Semua pelanggaran dengan demikian berarti ditundukan pada hukum adat yang berlaku. Ini berarti hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan dalam suatu dominan dalam suatu lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan masyarakat adat yang mendukungnya. Konsekwensi dari peran yang dominan itu menjadikan hukum Adat semakin mengakar dan melembaga dalam interaksi social masyarakatnya, dalam arti bahwa kepatuahan masyarakat terhadap Hukum Adat tersebut tidak dapat dibantahkan.
Konskwensi lain ialah membawa akibat yang sangat fatal, dimana mulai muncul tokoh – tokoh hukum adat yang tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum adat bersumber kepada hukum hindu atau dharmasatra. Van Vollenhoven adalah salah satu dari banyak sarjana yang berpendapat demikian. Sarjana ini menentang secara langsung pendapat Prof. Van Den Berg yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber pada hukum agama dengan sana – sini terdapat penyipangan – penyimpangan. Berangkat daripemikiran – pemikiran Van Den Berg, Gde Pudja memberi penekanan khusus pada hukum adat yang pada hahekatnya bersumber pada hukum agama. Dalam banyak hal pandangan tersebut mengandung pembuktian yang benar dan factual.
Mengemukakan hasil penelitiannya, Gsde Pudja lebih jauh mengemukakan, Hukum Hindulah yang merupakan sumber dasar dari Hukum Adat di Indonesia terutama di daerah – daerah dimana pengaruh Hindu itu sangat besar. Untuk daerah Bali dan Lombok, pembuktian itu tidaklah begiru sulit, karena seluruhpola pemikiran dan tata kehidupan masyarakat yang beragama hindu, tetap mendasarkan pada ajaran – ajaran agama hindu yanbg  mereka yakini (Pudja, 1977 :192).
Kembali pada teori Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber dari perkembangan perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat barulah kemudian menjadi hukum adat, akan semakin mempertegas mengenai pembuktian adanya hukum hindu menjiwaihukum adat. Namun kerangka teori ini akan melahirkan adat murni, karena ia bersumberkan kepada perilaku menjadi manusia, baik personal maupun umum. dalam proses menjadikan perilaku menjadi kebiasaan, tata kelakukan dan adat istiadat, Dharmasastra atau hukum hindu sedikit banyak memberi pengaruh, berhubung kebiasaan, tata kelakuaan dan adat istiadat itu dibatasi oleh suatu norma – norma sosial dan norma – norma agama yang  bersumber langsung dari wahyu Tuhan. Hukum Hindu dalam pembahsaan dimuka dinyatakan bersumber pada Rta.
Meski dibentangkan secara tersirat dari beberapa uraian di depan, kecuali menegakkan keberadaan hukum hindu yang menjiwai hukum adat, sebenarnya dengan sendirinya juga berarti mencakup pengertian hukum hindu menjiwai kebiasaan. Kebiasaan ini dibatasi dalam konteksnya yang berkiblat pada hukum adat. I ketut Artadi menggambarkan kebiasaan itu demikian : “dalam aspek lain hubungan antar warga ini menonjol juga dalam hal penataan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang dapat berupa tata susila, sopan santun, hidup dalam pergaulan suatu desa, yang sedemikian dianggap patut seperti cara bertegur sapa, menolong warga lain yangb terkena musibah, saling tolong dalam menanam padi, saling bantu dalam hal pembuatan rumah (Artadi, 1987 : 2)
Komponen ini dari pertayaan tersebut berturut – turut adanya pentaatan dari warga (masyarakat), kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati dan output berupa kebiasaan tolong menolong. Dengan demikian terdapat hubungan berantai dan estafet dari hukum hindu menjiwai hukum adat dan penjiwaan itu mengalir juga menjiwai kebiasaan.



2.2 Pengaruh Hukum Hindu Terhadapa Hukum Adat
Pembuktian adanya pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat telah terbukti sejak berdirinya kerajaan Hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika membahas dimulainya pertumbuhan hukum Hindu. Gde Pudja mengatakan, bagian – bagian dari sejarah dan pasal – pasal dalam Dharmasastra dioperasikan dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena tidak disadari bahwa Hukum Hindu itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum Adat. Bentuk secara hukum dan kehidupan hukum hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah  bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata – mata ( Pudja, 1977 :34).
            Gde Pudja selanjutnya, dalam berbagai penelitian dan penulisan hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana adat (adat delict), dalam bidang hukum perdata terutama hukum waris, kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat, ternyata semuanya hukum hindu. Baik pengertian, istilah – istilah yang dipakai maupun dasar filosofinya ternyata diambil-alih dari kitab – kitab suci hindu. Demikian pula pengenaan pembagiaan 18 titel hukum atau asta dasa Wyawahara, pembagian 12 jenis anak, berbagai jenis pidana adat seperti seperti Brahmatia, wakpurusya, Sahasa dan sebagianya semua merupakan hukum agama. Ini berarti Adat itu sebagian besar adalah hukum agama hindu (Pudja, 1977:35).
            Dalam praktek di tengah masyarakat memang tampak gejala hukum adat yang taut menaut dengan hukum hindu, kitab – kitab hukum pidana hindu dalam bentuk kompilasi seperti Adigama, agama, Kutaragama dan Manawa Swarga. Memang agak sering dijadikam sumber penyusunan hukum adat. Hanya transfer ke dalam hukum adat tidak sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Di sini para tetua masyarakat desa adat sangat berperan sebagai tokoh yang menyaring nilai-nilai hukum Hindu atau disenapaskan dengan kebutuhan sesuai dengan situasi sosial yang berkembang (Ketut Windya, 1988:37).
Team research FM & PM Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya terhadap pengaruh agama Hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum Hindu dalam jenis pelanggaran susila ini : Lokika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamia Gamana, Salah Krama, Dati Krama, dan Wakparusya. (Team research FM & PM Udayana Denpasar, 1975 : 47).
Semua jenis delict adat tersebut pernah diterapkan dalam peradilan kerta di Bali semasa jaman penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia. Dari keputusan-keputusan raad kerta kita mendapat kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata, terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan bentuk hukum lainnya.
Apabila skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat ditinjau secara makro, maka kita harus bertolak pada tiga hal pokok yang dipakai tumpuan memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita Karana, yakni adanya upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakkan keseimbangan natar warga masyarakkat itu sendiri. Upaya menegakkan keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam ketuhanan.
Berbagai pengaruh hukum Hindu terhadap hukum dapat sebagai contoh yang dikedepankan di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat pada dimensi “pawongan” dan “palemahan”.
Adanya pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu tidak ada. Gede Puja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kaidah yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan hukum adat dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan itu belum sampai melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada hukum Hindu (Pudja, 1977:34).

2.3 Konritisasi Hukum Hindu dalam Peradilan
Konkritisasi Hukum Hindu dalam peradilan telah dimulai sejak jaman manu, melalui pengadilan Brahmana. Skala berikut ini membenarkan adanya pengadilan Brahmana tersebut : pengadilan yang dilakukan oleh tiga orang Brahmana ahli dalam weda dan seorang hakim ahli yang ditunjuk oleh raja dinamakan pengadilan Brahmana (Manu VIII:11). Raja dikatakan menyelidiki dan memutuskan langsung setiap perkara, tetapi bila berhalangan, ia dapat menunjuk Brahmana ahli untuk mengadilinya.
Setiap pelanggran hukum dituduhkan pada delapan belas title hukum (Wyawahara-pada), sebagaimana dinyatakan dalam sloka berikut ini : “begitulah cara menyelesaikan perkara yang termasuk kedalam delapan belas title, antara dua pihak yang berpekara yang telah dinyatakan panjang lebar” (manu, IX:250).
Pengadilan Brahmana yang dikenal pula sebagai parisad atau majelis. Diteruskan keberadaanya dalam jaman-jaman raja-raja di India. Kautilya menginformasikan adanya pengadilan-pengadilan majelis pada jaman raja-raja di India, raja masih tetap mempunyai kewenagan sebagai seorang hakim (raja menjadi kepala eksekutif, legislative, dan yudikatif). Dalam prinsip kerajaan yang ditinggalkan kautilya, seorang hakim dinyatakan harus memegang Dharma atau kebenaran.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Manu berpengaruh sekali pada bentuk hukum dan perundang – undangan Majapahit. Ini secara dinyatakan langsung dalam kitab Kutara Manawa yang dijadikan sebagai kitab perundang – undangan dalam kerajaan Majapahit di Jawa Timur, terutama pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara.
Dalam susunan pengadilan kita juga mengenal adanya Dhyaksa. Seorang Dharmadhyaksa Kasaiwan, seorang Dharmadhyaksa Ksakasogatan, yakni agama siwa dan pemimpin agama Budha dengan sebutan Dang Acarya, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala perundang – undangan didasarkan pada agama. Sang Dharmadhyaksa dibantu lagi oleh lima Upapatti artinya : pembantu yang dalam piagam biasa disebut pemegat, baik Dharmadhayaksa maupun Upapatti disebut juga dengan Acarya. Upapatti ini dalam perkembangan selanjutnya jumlahnya makin banyak. (Slametmulya, 1979, 189-195). Sampai disini jelas sekali adanya gambaran hakim majelis yang melibatkan Dang Acarya, sebagai orang suci yang tidak diragukan lagi kejujurannya, integritas dan dapat melihat kebenaran yang hakiki.
Kerajaan Majapahit dalam sejarah kita kenal berhasil mempersatukan Nusantara yang kita warisi sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada setiap daerah jajahannya, Majapahit nampaknya selalu berusaha menenemkan segala pengaruhnya, termasuk dalam bidang hukum. Di Bali pengaruh ini kentra sekali, meskipun dalam penerapannya banyak mengalami modifikasi. Terutama memberi hukumannya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penduduk setempat. Gede Pudja mengatakan bagian – bagian dari ajaran – ajaran dan pasal – pasal dalam Dharmasastra telah diambil alih dan dipergunakan sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari hukum itu berpengaruh dan masih tetap berlaku pada hukum positif di Indonesia melalui bentuk – bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku bagi golongan Hindu semata – mata (Gede Pudja, 1977 : 34).
Pada jaman bali kuno, kerajaan – kerajaandi Bali seperti di masa kejayaan Jayapangus dilengkapi pula dengan lembaga peradilan. Ini membuktikan dari peran pendeta sebagai saksi dalam persidangan sebagaimana dinyatakan dalam prasasti kediri 629 B.Via. (Sukarto K.Atmojo dalam SA.Ketut Renik, 1988:15) dalam bait (1) dari prasasti : Telah dipersaksikan di depan tandarakyan rin pakiran kiran, (2) Ijro makabehan seperti para senopati terutama para pendeta Siwa dan Budha. Yang yang hadir pada waktu itu senopati Belambunut. Persaksian semacam itu dapat terbaca pula dalam prasasti 350 Abang Pura Batur A (933 S). Majalah Universitas Udayana, (XV No. 18,198:15-16).
Masa – masa setelah berakhirnya periode Bali kuno, kita mewarisi adanya pengadilan desa tiap – tiap desa di Bali. Para hakim yang bertindak memutuskan perkara – perkara biasanya ditangani atau diambil alih langsung oleh para tetua desa dan orang – orang yang dianggap tau tentang hukum adat atau kebiasaan – kebiasaan setempat yang bersumber pada ajaran – ajaran agama. Tidak dijumpai catatan tertulis mengenai hukum yang diterapkan pada kesepakatan bersama warga desa yang sudah turun temurun. Tetapi setiap keputusan biasanya ditundukkan
Sampai kepada kedatangan Belanda ditahun 1949, yang ditandai dengan perang jagaraga, pengadilan Kerta di Bali, terutama sebelum tahun 1930, para tetua desa seiring diminta pendapatnya mengenai berbagai sengketa yang timbul di masyarakat. Atau juga persoalan – persoalan itu diajukan kepada para Brahmana ahli.
Peradilan kerta di Bali dibangun 33 tahun, terhitung sejak perang jagaraga tahun 1849, tepatnya tahun 1882 (Buleleng) dan (Jemrana). Raad Kerta-Raad kerta di kabupaten lain , dibangun menyusun belakangan, Karangasem tahun 1894, Klungkung 1910, Gianyar dan Bangli 1916.
Dalam penelitian kita, Raad Kerta di Bali merupakan konkritisasi nilai – nilai hukumHindu dibuktikan dari kitab – kitab hukum – hukum yang dijadikan pegangan para hakim kerta, seperti Agama, Adigama, Purwagama, Manawa Swarga, dan Kutaragama setra kitab – kitab hukum yang lain. Yang banyak mengacu hukum Manu atau Weda Smerti.
Demikian gambaran mengenai konkritisasi hukum Hindu dalam peradilan sejak jaman Manu sampai pada jaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar